KPK Menolak Pandemi COVID-19 dijadikan Dalih Pembebasan Koruptor
Nusakini.com--Jakarta--Sebagaimana diketahui bahwa Pandemi COVID-19 yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini membuat setiap negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan berdasarkan situasi dan kondisinya.
Keadaan tersebut juga telah membuat Kementerian Hukum dan Ham menertbitkan PERMENKUMHAM Nomor 10 Tahun 2020 sebagai Dasar hukum pelepasan tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.
Sebanyak 30.000 narapidana akan dibebaskan untuk dapat memutus rantai penularan dan pencegahan terhadap narapidana secara nasional dikarenakan over capasity, yang disinyalir termasuk narapidana kasus korupsi.
Hal tersebut mendapat reaksi beragam dan silang pendapat publik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat banyak pertanyaan dari berbagai pihak termasuk awak media dan menimbulkan pemberitaan yang beragam di masyarakat, ujar Nurul Ghufron wakil ketua KPK kepada media, sabtu 04/04/20 di Jakarta.
Lebih lanjut wakil ketua KPK Nurul Ghufron menuturkan bahwa dirinya bermaksud memberikan klarifikasi dan penegasan dalam beberapa hal, agar tidak terdapat kekeliruan atau bias pemahaman, tegasnya !
Bahwa pertanyaan rekan-rekan media melalui WA, yang intinya bagaimana pendapat Bapak (KPK - red) mengenai wacana Menteri Hukum dan HAM untuk membebaskan sejumlah narapidana termasuk kasus korupsi ?
Hal itu telah di jawab oleh KPK kepada media, bahwasanya kami memahami kalau Pandemi Covid 19 ini merupakan ancaman bagi kemanusiaan secara global atas dasar nilai kemanusiaan, namun agar tetap perlu dilakukan secara berkeadilan dan memperhtikan tercapainya tujuan pemidanaan. Tuturnya.
Bahwa maksudnya adalah dari sisi kemanusiaan, saya memahami kondisi global bahwa covid 19 mengancam jiwa Napi.
Namun penekanannya adalah pada prasyarat keadilan, karena selama ini kapasitas Lapas faktanya melebih 300%. Pemidanaan kepada NAPI koruptor faktanya tidak sesak, seperti halnya sel Napi Umum. Maka dari sisi keadilan, akan tidak adil kalau ternyata Napi Koruptor diperlakukan yang sama dengan Napi yang telah sesak secara kapasitas selama ini.
Adapun memperhatikan tujuan pemidanaan, maksudnya adalah bahwa alasan pembebasan kepada para Napi tidak kemudian meniadakan prasyarat proses dan tahapan pembinaan Napi di lapas.
Artinya tidak boleh pembebasan tersebut dengan meninggalkan bahkan dilakukan tanpa seleksi ketercapaian program pembinaan bagi Napi di lapas. Selain syarat usia dan kerentanan potensi penyakit yang diidap oleh Napi. Imbuhnya.
Adapun perhatian utama dalam pernyataan KPK adalah tentang aspek kemanusiaan serta perwujudan physical distancing di Lapas.
Agar kita tidak melihat penempatan para narapidana di Lapas semata sebagai balas dendam atau pembalasan saja, namun juga tetap memberikan perlindungan pemenuhan hak hidup dan hak kesehatan (HAM) jika terancam akan penularan virus COVID-19. Terang wakil ketua KPK tersebut.
Lanjutnya, sehingga perlu kami tegaskan terhadap Napi korupsi yang selama ini dalam pemahaman kami, dari sisi kapasitas sellnya tidak penuh, tidak seperti sel Napi pidana umum, tidak ada alasan untuk dilakukan pembebasan.
Wakil ketua KPK Nurul Ghufron juga kembali menyampaikan bahwa KPK juga memahami keresahan masyarakat terhadap para pelaku korupsi, selain telah melanggar hukum juga telah merampas hak-hak masyarakat saat 'ia' melakukan korupsi.
"Sejauh ini KPK belum pernah dilibatkan membahas terkait kebijakan pembebasan Napi oleh Kemenkumham." Jelasnya
Terkait wacana tersebut kami akan memberikan masukan prasyarat bahwa, walau rencana itu kami pahami atas dasar kemanusiaan, penting bagi kami memberikan perhatian pada koridor “Keadilan dan Ketercapaian tujuan Pemidanaan” itu poin utama kami.
"Terkait over capacity Lapas adalah ketidakadilan yang sudah lama terjadi."
Pandangan kami, Kementerian Hukum dan HAM belum melakukan perbaikan pengelolaan Lapas dan melaksanakan rencana aksi yang telah disusun sebelumnya terkait dengan perbaikan Lapas.
Pasca OTT di Lapas Sukamiskin, yang membuktikan praktek korupsi/suap dibalik fasilitas terhadap Narapidana, benar terjadi. Imbuhnya.
Sehingga kapasitas sell menjadi tidak imbang, selama hal tersebut terjadi, seharusnya 'over kapasitas lapas' bukan alasan tepat, namun akan menimbulkan ketidak adilan baru.
"Adapun terkait sikap lembaga, kami ingin menegaskan bahwa pembebasan Napi merupakan kewenangan Kemenkumham." Ujar wakil ketua KPK Nurul Grufron.
Meski demikian, harapan kami sebelumnya Kemenkumham harus bisa memastikan apakah ada Napi yang terkena Corona atau tidak. Apabila ada, maka Napi tersebut yang dipindahkan, bukan kemudian merubah PP. Silahkan buka kembali PP agar lebih bisa dipahami.
Sebab itu kami harap, Kementerian Hukum dan HAM secara serius melakukan pembenahan pengelolaan Lapas. Karena dengan cara inilah kita bisa memastikan capaian tujuan pembinaan di Lapas, termasuk memastikan apakah terdampak Pandemi Corona ini. Sehingga, over kapasitas dapat diminimalisir dan pemetaan napi yang patut dibebaskan dan atau tidak dibebaskan, juga lebih terukur.
KPK pernah menemukan ribuan Napi dan Tahanan di Rutan atau Lapas yang over stay, seharusnya telah keluar tapi karena persoalan administrasi masih berada di Lapas.
Hal ini telah mulai diperbaiki Ditjen Pas. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah penyebab over kapasitas, karena Napi kasus Narkotika yang seharusnya bisa mendapatkan rehabilitasi misalnya, atau Napi kejahatan lain (bukan korupsi).
Tentunya penguatan data perlu menjadi dasar sikap Kementerian Hukum dan HAM, terkait danpak Pandemi COVID-19 di Lapas. Hal ini diharapkan membuat masyarakat bisa lebih memahami kebijakan tersebut memang atas dasar kemanusiaan, dan dilaksankan secara adil.
Demikian penjelasan KPK terkait dengan isu ini, agar kiranya menjadi pemahaman yang clear tentang sikap KPK. Kita perlu tetap melihat Lapas sebagai ruang pembinaan bukan pembalasan, akan tetapi KPK menolak Pandemi COVID-19 ini jika dijadikan dalih untuk membebaskan koruptor.
Adapun sebagai bentuk perhatian terhadap Pandemi COVID-19 ini, KPK akan secara serius terlibat dalam upaya Pencegahan Korupsi terkait bantuan, anggaran dan hal lainnya agar seluruhnya anggaran tersebut tidak dikorupsi dan dapat diterima utuh oleh masyarakat yang membutuhkan.
KPK telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Terkait Dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Tutup wakil ketua KPK Nurul Ghufron.(R/Rajendra)